Orang India Pakai Bahasa Inggris

Tempat ibadah masyarakat India-Indonesia

Di bawah ini adalah tempat-tempat ibadah masyarakat India-Indonesia khususnya yang beragama Hindu dan Sikh.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Orang India adalah warga negara Republik India. Pada 2022, populasi India berjumlah 1,4 miliar jiwa. Menurut perkiraan PBB, India akan menggantikan Tiongkok sebagai negara berpenduduk terbanyak di dunia pada akhir April 2023, dengan komposisi 17,50 persen dari populasi global.[20][21][22] Selain populasi India, diaspora perantauan India juga memiliki jumlah penduduk yang besar, khususnya di negara-negara Arab dan Teluk Persia dan di dunia Barat.[4] Meskipun demonim "orang India" mengacu pada orang-orang yang berasal dari Republik India saat ini, istilah ini juga digunakan sebagai istilah identifikasi untuk orang yang berasal dari Pakistan dan Bangladesh saat ini sebelum peristiwa pemisahan India Britania pada 1947.[23][24]

Khususnya di Amerika Utara, istilah "orang India Asia" dan "orang India Timur" terkadang digunakan untuk membedakannya dengan penduduk asli benua Amerika yang juga disebut "orang Indian". Meskipun misidentifikasi pribumi benua Amerika sebagai orang Indian telah ada selama kolonisasi Eropa di benua Amerika, istilah "Indian" tetap digunakan sebagai pengidentifikasi untuk populasi pribumi di Amerika Utara dan Karibia. Pengunaan istilah ini semakin langka, setelah istilah-istilah seperti "pribumi", Amerindia, dan lebih spesifiknya Bangsa Pertama di Kanada, dan Pribumi Amerika di Amerika Serikat, lebih luas digunakan dalam diskursus resmi dan dalam hukum.

Templat:Topik India Templat:Imigrasi ke India

Mayoritas penutur bahasa Hindi yang berada di luar India tinggal di negara-negara tetangga, seperti Bangladesh, Myanmar, Pakistan, Nepal, dan Afghanistan. Namun demikian, ada juga komunitas Hindi berskala besar di negara-negara lain. Layaknya para kelompok imigran India yang lain, orang-orang Hindi cenderung tinggal di tempat orang-orang Hindi lain berada.

Istilah "Hindi" tidak cukup menggambarkan kompleksitas etnis dan sosial suku ini karena istilah tersebut hanya berfungsi sebagai pembeda. Pada kenyataannya, orang India penutur bahasa Hindi adalah kumpulan kelompok etnis dan sosial yang tersebar luas di seluruh Asia Tengah. Mereka tidak hanya memiliki bahasa yang sama, namun juga karakter khusus berdasarkan faktor-faktor budaya dan historis, termasuk rivalitas Hindu-Islam dalam tradisi keagamaan.

Adalah mereka yang berasal dari kasta yang lebih tinggi dan berpendidikan yang biasanya meninggalkan India dan bermigrasi ke negara-negara lain. Mereka kini memiliki beragam pekerjaan. Sebagian besar dari mereka tidak hanya telah menolak beragam aspek dari budaya Hindu mereka, namun juga telah terpengaruh oleh budaya Barat pada banyak bidang.

Seperti Apa Kehidupan Mereka?

Hindi adalah bahasa Indo-Aryan. Bahasa Hindi banyak meminjam kata-kata dari bahasa Sanskerta, dan ditulis dalam naskah "Devanagri". Sebelumnya, ada konflik besar antara penutur Urdu (sebagian besar beragama Islam) dan penutur Hindi (sebagian besar beragama Hindu). Hal ini berujung pada separasi Pakistan dan India pada 1947. Sejak saat itu, terjadi ketegangan dalam hal bahasa dan agama di antara kedua kelompok tersebut. Hindi menjadi bahasa nasional India dan Urdu menjadi bahasa Pakistan. Namun, di Pakistan, masih ada 85.000 orang Islam yang menggunakan bahasa Hindi dan kini disebut orang Indo-Pakistan. Sayangnya, orang Indo-Pakistan mengalami penderitaan yang luar biasa selama masa separasi Pakistan dan India.

Para penutur Hindi dibagi ke dalam beberapa kelompok sosial. Orang Hindu, yang membentuk kelompok yang paling besar, dibagi ke dalam empat kelompok sosial utama yang disebut "kasta". Kasta-kasta itu memiliki urutan hierarkis berdasar prinsip-prinsip "kemurnian dan pencemaran". Menurut peringkat, kelompok turun-temurun itu adalah Brahmana, para pendeta dan kaum cendekiawan; Ksatria, para pemerintah dan pejuang; Waisya, para pedagang dan kaum profesional; dan Sudra, para buruh dan budak. Empat kasta ini memiliki banyak subkasta, yang kemudian dibagi lagi dalam lingkaran-lingkaran.

Kasta adalah kelompok budaya, yang tidak hanya berdasar pada pekerjaan, namun juga adat istiadat. Orang-orang yang berada dalam subkasta-subkasta dan lingkaran-lingkaran yang tidak terkira banyaknya dalam masyarakat Hindu itu terus mencoba untuk "memanjat tangga sosial". Mereka melakukannya dengan mengadopsi cara hidup, kebiasaan, dan bahkan bahasa dari kasta yang lebih tinggi. Namun demikian, mereka jarang menikahi seseorang dari kasta lain.

Meski Brahmana dianggap sebagai kasta yang hebat dalam keagamaan dan sastra, pendidikan dan pembelajaran yang memberi mereka kekuatan selama beberapa lama kini tersedia bagi semua ras dan kelas dalam agama Hindu.

Hindi adalah bahasa yang digunakan dalam bisnis, pendidikan, dan jurnalisme. Di negara-negara tempat tinggal mereka yang baru, para penutur Hindu mendirikan toko rempah-rempah khas India, toko video, dan bisnis komersial kecil di setiap kota besar. Beberapa yang tinggal di Pakistan, Arab Saudi, dan Bangladesh adalah petani. Orang Hindi yang paling miskin tinggal dalam gubuk yang terbuat dari tanah liat, sementara yang kaya tinggal dalam bangunan semen dengan beberapa lantai.

Di tempat tinggal mereka yang baru, para penutur Hindi menjadi semakin "kebarat-baratan". Kini, banyak dari mereka minum anggur dan makan segala jenis daging kecuali daging sapi. Selain itu, para wanita Hindu memiliki hak untuk meminta cerai dan menikah lagi. Beberapa pria masih memakai "dhoti" (kain putih sederhana yang membungkus kaki atau dipakai secara longgar seperti rok), dan wanita terkadang memakai "sari" (potongan kain lurus yang dipakai seperti gaun), khususnya pada acara-acara khusus. Namun demikian, sekarang banyak yang memakai baju-baju khas barat.

Para wanita muslim yang menggunakan bahasa Hindi masih mengikuti tradisi "purdah" -- menutupi seluruh tubuh, khususnya mata, yang mengisyaratkan pengasingan diri. Namun demikian, purdah dipraktikkan dalam beragam skala tergantung pada tingkat westernisasi dan urbanisasi.

Apa Kepercayaan Mereka?

Mayoritas penutur Hindi mempraktikkan agama Hindu yang cenderung dianggap sebagai gaya hidup daripada sebuah agama. Orang Hindu menyembah dewa-dewa yang baik maupun yang jahat. Mereka percaya bahwa kurban dan persembahan harus diberikan kepada dewa-dewa secara rutin guna menenangkan mereka dan mencegah terjadinya bencana.

Hinduisme mengajar bahwa jiwa tidak pernah mati. Saat tubuh mati, jiwanya lahir kembali dan berreinkarnasi. Jiwa itu mungkin saja terlahir kembali sebagai hewan atau manusia. Mereka menyembah beberapa dewa dalam bentuk binatang. Sapi dianggap sakral, namun hewan lain juga dihormati.

Hukum "karma" menyatakan bahwa setiap tindakan memengaruhi bagaimana jiwa akan dilahirkan kembali. Jika seseorang menjalani hidup dengan penuh kebaikan, jiwanya akan dilahirkan kembali dalam keadaan yang lebih baik. Jika seseorang hidup dengan banyak tindakan buruk, jiwanya akan terlahir kembali dalam keadaan yang lebih buruk.

Apa Kebutuhan Mereka?

Para penutur Hindi memiliki baik Alkitab maupun film JESUS dalam bahasa mereka. Namun demikian, orang-orang Hindu harus terlebih dahulu dibebaskan dari perbudakan jutaan allah palsu sehingga mereka dapat percaya kepada Yesus. Orang Islam pun demikian, mereka membutuhkan penyataan Trinitas dan kebenaran-kebenaran yang ada dalam firman Tuhan. Doa memiliki kuasa untuk membawa mereka dari kegelapan menuju kepada Terang.

Tema: Random Wikipedia Article

Artikel yang kupilih untuk tema hari ini berjudul Languages of India di Wikipedia Bahasa Inggris. Aku pribadi lebih suka menggunakan Wikipedia berbahasa asing tersebut karena informasi yang disampaikan biasanya lebih banyak.

Sementara saat membaca Wikipedia Bahasa Indonesia, aku kerap kali menemukan sejumlah artikel yang diterjemahkan seadanya dengan bantuan Google Translate tanpa ada penyuntingan lebih lanjut sehingga hasilnya pun yaaa, mohon maaf, jelek.

Sebelum mulai menulis, jujur aku agak bingung dengan tema ini. Saat mengobrol dengan salah seorang teman dari kegiatan ini, ternyata beliau juga mengalami hal yang serupa. Kami bingung harus membuat tulisan ini menjadi seperti apa.

Ingin menjadi apaaa, setelah dewasa… #nyanyi

Namun, setelah beberapa kali membaca keterangan dari tema ini, yakni:

“Masuklah ke situs Wikipedia, pilih satu artikel, mengenai apa saja. Buatlah tulisan mengenainya. Ingat, bukan copy-paste, namun lebih ke bagaimana kamu bisa menguraikan tanggapanmu terhadap artikel tersebut.”

Kami pun akhirnya sepakat bahwa kami tidak boleh hanya asal comot—meng-copy–paste, mengalihbahasakan, dan kemudian mem-post publish—tetapi kami harus membuat sebuah tulisan uraian mengenai artikel tersebut.

Semoga spekulasi ini tidak salah. Kalau salah, ya sudah. Setidaknya sudah setor. #sikap #mohonjanganditiru

Oke, mari kita kembali ke artikel yang hendak kubahas. Aku memilih artikel ini karena ketertarikanku pada bahasa dan kebetulan saat ini aku masih berada di India.

Artikel yang berisi 6494 kata ini sangat menarik, komprehensif, serta panjang. Sampai dengan kalimat ini diketik (23.25 GMT +5.30), aku baru membaca sekitar setengah bagian dan belum bisa menyerap semua informasi yang disajikan di situ sepenuhnya. Namun, aku akan tetap berusaha memberikan ulasan mengenai artikel ini dengan sebaik mungkin.

*Penulis berusaha menyelesaikan bacaannya dan akan kembali dalam beberapa menit.*

Kalimat tersebut ditulis oleh Admin yang adalah penulis sendiri. #baik

Sebelum berkunjung ke India, ada tiga bahasa di India yang memang sudah kuketahui, hanya dari namanya saja, yakni Hindi, Tamil, dan Bengali. Namun, setelah sampai di sini dan tinggal selama sembilan bulan, aku jadi tahu kalau India punya banyaaaak sekali bahasa.

Aku menemukan gambar di atas dari salah satu artikel rujukan yang dicantumkan di bagian referensi.

Secara garis besar, terdapat dua kelompok bahasa yang terdapat di India, yakni kelompok Bahasa Indo-Arya di India Utara serta kelompok Bahasa Dravidia di India Selatan.

Bahasa Hindi menjadi bahasa yang paling banyak dituturkan oleh penduduk India, yakni sebanyak lebih dari 400 juta jiwa (sensus India di tahun 2001).

Banyaknya bahasa yang terdapat di India ini, menurutku, merupakan pengaruh dari adanya kerajaan-kerajaan yang dulu berkuasa di wilayah India.

Di satu sisi, banyaknya bahasa yang dimiliki oleh suatu negara membuat negara tersebut menjadi kaya dengan nilai budaya dan sejarah. Namun, di sisi lain, hal tersebut juga dapat menyebabkan munculnya konflik karena perbedaan bahasa yang dituturkan oleh tiap-tiap penduduk.

Hal ini pun secara tidak langsung diperparah oleh sistem kasta yang masih dianut oleh sebagian besar penduduk India, bahkan hingga saat ini. Jadi, seolah akan terkesan wajar saat ada gesekan karena perbedaan bahasa tersebut. Lah wong yang ngomongnya pake bahasa yang sama aja, tetapi berbeda kasta, bisa muncul konflik. Apalagi ini, yang cas-cis-cus-nya pake bahasa yang gak sama.

Seperti yang terjadi sebelum masa kemerdekaan India di tahun 1947.

Pada tahun 1946, terjadi konflik antara sejumlah-orang-yang-setuju-dan-menginginkan-Bahasa-Hindi-menjadi-bahasa-resmi dengan mereka-yang-tidak-setuju. Penutur Bahasa Hindi, yang merupakan mayoritas, tentu ingin bahasa mereka digunakan sebagai bahasa resmi. Namun, penduduk India lain yang bukan merupakan penutur Bahasa Hindi, menentang dengan alasan bahwa bahasa nasional harus bisa menjadi lingua franca bagi semua warga negara.

Karena alasan tersebut, di dalam Konstitusi India, Bahasa Inggris pun ditambahkan sebagai bahasa resmi kedua setelah Bahasa Hindi—yang ditulis dengan aksara Devanagari. Namun, jika tidak ada amendemen, maka dalam waktu 15 tahun sejak dicanangkannya konstitusi tersebut (26 Januari 1950), penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi harus dihentikan.

Menjelang tahun 1965, terjadi kekacauan besar-besaran di sejumlah negara bagian.

Perdana Menteri India saat itu, Jawaharlal Nehru, berusaha mengantisipasi hal tersebut dengan tetap memperbolehkan penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi India.

Akhirnya di tahun 1967, Pemerintah India melakukan amendemen terhadap Konstitusi India. Hasil amendemen tersebut memperbolehkan penggunaan Bahasa Inggris, bersama dengan Bahasa Hindi yang ditulis dalam aksara Devanagari, sebagai bahasa resmi di tingkat nasional.

Karena banyaknya bahasa di India, berdasarkan Konstitusi India, tidak ada satu bahasa pun yang memperoleh status sebagai bahasa nasional.

Mungkin biar gak sisirikan.

Aku juga baru tahu hari ini kalau bahasa resmi dengan bahasa nasional itu berbeda.

Hal menarik lain yang kutemukan dari artikel ini adalah dipilihnya 22 bahasa di India sebagai bahasa resmi. Jika Bahasa Hindi dan Bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa resmi pada tingkat nasional, maka penggunaan ke-22 bahasa ini (termasuk Hindi, tidak termasuk Inggris) sebagai bahasa resmi hanya berlaku di tingkat negara bagian.

Dua puluh dua bahasa resmi tersebut adalah Assamese, Bengali, Bodo, Dogri, Gujarati, Hindi, Kannada, Kashmiri, Konkani, Maithili, Malayalam, Meitei, Marathi, Nepali, Odia, Punjabi, Sanskrit, Santali, Sindhi, Tamil, Telugu, serta Urdu.

Jika melihat dari jumlahnya, maka keragaman bahasa di India dan Indonesia bisa dibilang hampir sama. Namun, aku harus mengakui bahwa India lebih unggul dalam satu poin penting, yakni setiap bahasa di India masih menjaga sistem penulisan tradisional bahasa mereka secara utuh.

Sementara di Indonesia, meskipun sama-sama beragam, tetapi sebagian besar penutur bahasa daerah di Indonesia pasti sangat jarang yang bisa menuliskan bahasa daerah mereka dengan sistem penulisannya.

Selain itu, Pemerintah India juga memberikan perhatian khusus kepada beberapa bahasa yang mempunyai nilai-nilai historis berharga, yang kemudian dikategorikan sebagai bahasa klasik.

Sampai saat ini, ada enam bahasa klasik yang telah diakui oleh pemerintah India, yakni sebagai berikut (diurutkan berdasarkan tahun diperolehnya penghargaan tersebut):

Untuk menutup tulisan ini, aku kembali ingin mengutip sebuah informasi dari artikel tersebut. Di salah satu tabel, tersaji data yang menunjukkan bahwa banyak penduduk India yang menguasai lebih dari satu bahasa, yakni Bahasa Hindi, Bahasa Inggris, serta bahasa daerah mereka.

Mungkin sama seperti sebagian besar orang Indonesia yang bisa Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, serta bahasa daerah. Namun, di sini aku harus mengakui bahwa orang India agak lebih baik. Sebab selain bisa menuturkan bahasa daerah mereka, mereka pun masih mempraktekkan sistem penulisan bahasa tersebut.

Meskipun setelah kupikir-pikir lagi, mungkin perbandingan tersebut tidaklah kesemek to kesemek. Sebab jika berbicara mengenai bahasa dan kompleksitasnya, aku menganggap semua bahasa itu sama dan setara, tidak ada yang lebih baik ataupun lebih buruk.

Orang India-Indonesia adalah kelompok masyarakat keturunan India yang tinggal dan menetap di Indonesia. Orang-orang keturunan Asia Selatan lain juga bisa disebut sebagai orang India-Indonesia. Menurut data dari Kementerian Luar Negeri India, pada Januari 2012, ada 120.000 masyarakat Indonesia keturunan India, dan 9.000 di antaranya adalah warganegara India, yang mereka bekerja dan tinggal di Indonesia.[2] Masyarakat India-Indonesia kebanyakan tinggal di Sumatera Utara, Banda Aceh, Surabaya, Medan dan Jakarta.[3]

Di Jakarta, masyarakat Tamil-Indonesia mempunyai organisasi yang bernama "Indonesia Tamil Tamram" yang bergerak dalam pelestarian bahasa dan budaya Tamil, membangun saling pengertian antara orang India dan Indonesia, dan memberikan kesempatan belajar bagi anak-anak Tamil di Indonesia untuk belajar bahasa ibu mereka. Untuk maksud tersebut, organisasi ini mengadakan kursus bahasa dan budaya, membagikan literatur dalam bahasa Tamil, menyelenggarakan berbagai kegiatan terkait, seperti debat, drama, tarian, dan musik, mendatangkan artis-artis terkenal dari India dalam bidang tari, musik, drama, dll.[4]

Kelompok suku masyarakat Punjabi dari India Utara banyak terdapat di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dll. dan pada umumnya mereka hidup sebagai pedagang. Banyak dari mereka yang beragama Sikh. Beberapa tokoh terkemuka dari masyarakat ini misalnya adalah Raam Punjabi, raja sinetron Indonesia dan istrinya, Rakhee Punjabi, H.S. Dillon, pakar ekonomi pertanian.Kehidupan masyarakat Indonesia keturunan India dikemas dengan begitu unik dalam serial televisi "Raj's Family" di salah satu stasiun televisi swasta.

Seorang tokoh Punjabi-Indonesia yang sering terlupakan adalah Gurnam Singh, pelari maraton pada era 1960-an yang menjadi pelari tercepat Asia pada Asian Games 1962 di Jakarta.[5] Gurnam Singh juga berasal dari Sumatera Utara.

Orang-orang Gujarati dahulu datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Islam.[6] Pada saat ini, mereka terkonsentrasi dalam satu wilayah yang dinamakan sebagai Kampung Pekojan.

Selain itu, di Indonesia ada pula kelompok suku masyarakat Sindhi yang juga banyak berperan dalam dunia perdagangan di Indonesia. Mereka umumnya bergerak di bidang industri garmen dan tekstil, makanan dan pertanian, perfilman, intan permata dan batu-batu mulia. Masyarakat Sindhi di Indonesia mempunyai organisasi sosial yang bernama "Gandhi Seva Loka" yang banyak memberikan bantuan kepada komunitas mereka sendiri, serta menyelenggarakan proram orang tua asuh secara teratur. Organisasi ini juga menolong kaum fakir-miskin di kalangan masyarakat yang lebih luas, khususnya ketika ekonomi negara dilanda krisis yang berkepanjangan.

Di dalam aktivitas sosialnya, masyarakat India-Indonesia mendirikan sekolah Gandhi International School di Jakarta. Selain itu, ada pula beberapa Gurdwara, yakni tempat ibadah bagi mereka yang beragama Sikh, dan kuil bagi mereka yang beragama Hindu dan Jain.

Berbagai kelompok masyarakat dari anak benua India telah datang ke kepulauan Indonesia sejak masa pra-sejarah. Di Bali, misalnya, berbagai sisa keramik sejak abad pertama Masehi telah ditemukan. Malah nama Indonesia sendiri berasal dari bahasa Latin Indus "India" dan bahasa Yunani nêsos "pulau" yang secara harafiah berarti 'Kepulauan India'.

Sejak abad ke-4 dan ke-5, pengaruh budaya India menjadi semakin jelas. Bahasa Sanskerta digunakan dalam berbagai prasasti. Namun sejak abad ke-7, huruf India semakin sering dipergunakan untuk menulis bahasa-bahasa setempat yang kini sudah mengandung banyak kata pinjaman bukan saja dari bahasa Sanskerta, tetapi juga dari berbagai bahasa Prakerta dan bahasa-bahasa Dravida.

Selain itu, masyarakat pribumi Indonesia pun mulai memeluk agama-agama India, khususnya Siwaisme dan Buddhisme. Namun ada pula pemeluk Wisnuisme dan Tantrisme.

Diyakini pula bahwa berbagai penduduk India juga menetap di Indonesia, bercampur gaul dan berasimiliasi dengan penduduk setempat, karena pada abad ke-9 dalam sebuah prasasti dari Jawa Tengah disebutkan nama-nama berbagai penduduk India (dan Asia Tenggara):

Belakangan, dengan bangkitnya Islam, agama Islam pun dibawa ke Indonesia oleh orang-orang Gujarat sejak abad ke-11, bukan untuk menggantikan sistem-sistem keagamaan yang sudah ada, melainkan untuk melengkapinya.

Warisan India di Indonesia

Warisan agama Hindu yang masih tersisa di beberapa tempat di Sumatra, Jawa, Bali, dan Kalimantan, adalah bukti-buktinya.[7] Kisah epos Mahabharata dan kisah klasik Ramayana telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari banyak orang Indonesia. Banyak nama orang Indonesia yang menggunakan nama-nama India atau Hindu, meskipun tidak berarti bahwa mereka beragama Hindu. Nama-nama seperti "Yudhistira Adi Nugraha", "Bimo Nugroho", "Susilo Bambang Yudhoyono", semuanya mencerminkan pengaruh India yang sangat kuat di Indonesia.

Selain itu di beberapa tempat, tampak sisa-sisa keturunan masyarakat India yang telah berbaur dengan masyarakat Indonesia. Nama-nama keluarga (merga) di kalangan masyarakat Batak Karo, seperti Brahmana dan Gurusinga yang tampaknya berasal dari nama-nama India, menunjukkan warisan tersebut.

Di Jakarta terdapat daerah yang dinamai Pekojan di Jakarta Kota, dan Koja di Jakarta Utara. Kedua daerah ini dulunya adalah pemukiman orang-orang India Muslim yang disebut juga orang Khoja. Mereka umumnya berasal dari daerah Cutch, Kathiawar dan Gujarat. Mereka berasal dari kasta Ksatria. Pada abad ke-14, komunitas ini mengalami perubahan besar ketika seorang mubaligh Persia, Pir Sadruddin, menyebarkan agama Islam di antara mereka dan memberikan kepada mereka nama "Khwaja", dan dari kata ini diperoleh kata "khoja" atau "koja". "Khawaja" sendiri berarti "guru, orang yang dihormati dan cukup berada".[8]

Budaya India-Indonesia

Budaya India-Indonesia adalah budaya hasil akulturasi budaya India dengan budaya Indonesia yang berkembang di Indonesia.

Pengaruh India di Masakan Indonesia

Pengaruh India terhadap masakan Nusantara, dapat ditelusuri lewat hubungan antara Kesultanan Mughal di India dengan Aceh, sekitar abad 15 hingga abad 16.[9] Beberapa pengaruh Mughal diduga dapat ditemukan dalam masakan yang pedas dan bersantan. Terdapat dua pendapat berbeda soal asal usul rasa pedas ini. Pertama, sumber pedas disebutkan berasal dari cabai yang dibawa oleh bangsa Portugis ke Mughal, hingga sampai ke Nusantara. Kedua, orang India sebenarnya sudah mengenal cabai, jauh sebelum orang Portugis datang.

Masakan Indonesia dengan pengaruh India, diduga terdapat dalam megana atau cacahan sayur nangka, yang masih bisa ditemui di daerah Pekalongan, Wonosobo, dan Temanggung.[9] Masakan ini berada di wilayah-wilayah yang merupakan bekas daerah kerajaan Hindu awal di Jawa, yaitu Kalingga.